Kamis, 29 Agustus 2013

[BIOGRAPH] Addie MS



Addie Muljadi Sumaatmadja, atau lebih dikenal dengan Addie MS, adalah seorang konduktor orkestra di Indonesia. Addie adalah salah satu pendiri Twilite Orchestra. Pria yang menjadi suami dari penyanyi “Memes” ini lahir di Jakarta, 7 Oktober 1959. Selain seorang konduktor, Addie juga dikenal sebagai pianis, pencipta lagu, komposer, arranger, dan sekaligus produser musik. Bagi Addie Muljadi Sumaatmadja piano bukan sekadar penghasil bunyi, yang bisa diatur keindahannya dengan emosi. Lebih dari itu. Alat musik itu adalah wadah luapan pemberontakan batin yang mampat tak tersalurkan.



Biografi Addie M.S.

Masa Kecil
Semasa remaja, bila lagi marah, ia melampiaskannya pada tuts-tuts piano. “Terkadang sampai senarnya putus,” ungkap alumnus Recording Engineering, Chilicothe, Ohio, Amerika Serikat (AS) ini. Masa kecilnya memang agak terkungkung dalam disiplin. Maklum, ayahnya, Bandi Sumaatmadja, yang mantan tentara, mendidiknya dalam disiplin keras.
Ia sadar. Orang tuanya itu tipikal orang yang harus mengikuti kemauannya dan tak menyisakan ruang dialog bagi anak-anaknya. Rupanya ia tak tahan menghadapinya. “Di situlah jiwa saya berontak dan penyalurannya ke narkoba,” kenang anak ketiga dari delapan bersaudara itu tentang masa lalunya.
Addie M.S.
Sejatinya Adi kecil terbilang anak yang pemalu, minder, dan malas bergaul. Hanya saja, itu berubah saat ia duduk di bangku SMP. Ia mulai bergaul akrab dengan narkoba. Malah ia sempat lekat dengan kumpulan anak-anak yang suka berkelahi. “Sejak SMP saya berubah menjadi anak yang agak eksplosif dan emosional,” akunya. Penampilan lusuh dan jarang pulang menjadi kebiasaannya.
Sekitar 1,5 tahun ia terlibat narkoba, sebagai pengguna maupun penyalur. Hanya perempuan yang tak pernah ia sentuh. Ia minder. “Bagi saya menghadapi siapa saja berani, tapi jangan wanita. Itu kelemahan saya,” ujarnya tergelak. Perkenalannya dengan musik memang tak disengaja. Ketika lulus SD ibunya membelikan dia piano. “Orang tua saya mampunya beli yang bekas. Selain itu, setiap ke rumah om saya selalu diperdengarkan musik klasik dan jazz,” tuturnya mengenai ketertarikannya pada dunia musik. Keluarganya ramai-ramai memakai piano itu bergantian. Ternyata hanya dia yang paling berbakat.
Energinya tak berlama-lama ia gunakan untuk hal-hal yang negatif. Sejak masuk SMA ia mulai bergaul dengan kegiatan positif. Sempat ikut grup vokal bersama Ikang Fauzi, Fariz RM, dan Adji Sutama. Pernah pula mengikuti lomba cipta lagu remaja dan lomba band. “Sampai di pengujung SMA, saya diperkenalkan dengan dunia musik pop profesional oleh Keenan Nasution dan Jockie Suryoprayogo, dua musisi senior,” tuturnya.
Tak tanggung-tanggung, Adi diajak membantu rekaman mereka. Musisi sekaliber Idris Sardi pun meminta bantuannya membuat musik-musik soundtrack film. Nah, gara-gara itu penyakit bolosnya kambuh lagi. Tapi kali ini bukan untuk beradu jotos di lapangan, tapi mengolah nada dan irama di studio musik. “Bagi saya itu semua suatu kebanggaan,” komentarnya mengenai perkenalan dengan dunia musik profesional.
Setamat SMA, terlintas di benaknya ingin kuliah di fakultas psikologi atau ekonomi. Nyatanya tak satu pun ia tekuni. Ia mulai yakin musik adalah jalan hidupnya. Toh mencari sekolah musik di Indonesia bukan pekerjaan gampang. Ia pun belajar secara otodidak. Cara lain, ia menabung dan hasilnya ia gunakan bepergian ke New York. Di sana ia melihat opera, konser musik klasik dan jazz, mencari referensi buku musik, dan video musik. Langkah berat agar berhasil.


Meski sudah menemukan jalan hidupnya, sifat pemberontak itu masih kerap muncul. Misalnya saat teman-temannya di Conducting Workshop di Ohio, AS, bergembira dalam acara penyerahan sertifikat. Ia malah asyik tidur. “Saya tak suka yang namanya gelar dan sertifikat, yang penting ilmunya,” ujar pengagum Leonard Birdstain, konduktor sekaligus komposer kenamaan dari AS.

Semasa kecil, ia pernah pula bercita-cita menjadi arsitek, lantaran senang menggambar interior rumah. Hal yang tak lazim dilakukan anak usia sekolah dasar. Sempat pula ingin menjadi psikolog, sebab membaca tulisan seorang psikolog Tengku Syah Abidin. Tulisan itu mendorongnya menjadi detektif-detektifan.

Darah seninya ternyata mengalir dari H. Muhamad Susilo, kakeknya, seorang violis dan planolog yang merancang kota satelit Kebayoran Baru. Adi pertama kali memimpin orkestra pada 1982 di Filipina, mengiringi penyanyi Redi Nur dan Vina Panduwinata. Ia memenangi juara kedua festival lagu pop di Chile dengan membawakan lagu Titik Hamzah pada 1984. “Disitu saya merasakan adanya daya tarik. Akhirnya sepulang dari Chile, saya memutuskan berhenti kuliah dari jurusan ekonomi Universitas Krisnadwipayana di Jakarta,” bebernya. Sejak itu, ia tambah yakin hidupnya adalah untuk musik.


Keputusannya itu mengecewakan ayahnya. Orangtuanya berharap ia menjadi pewaris perusahaan. Apa boleh buat, ia memang merasa tak memiliki bakat sebagai pemimpin perusahaan. Ia pun mendebat argumen orangtuanya, yang menganggap masa depan musisi tidak jelas. Tantangan itu ia jawab dengan tidak meminta uang pada orang tua. “Sejak SMA, saya sudah memutuskan untuk membuktikan bahwa musik dapat menghidupi saya dan saya tak mau tergantung pada orang tua secara finansial,” katanya tentang tekadnya.


Karier

Bakat musik Addie turun dari sang kakek, Muhammad Susilo, yang dikenal sebagai planalog yang merancang kota satelit Kebayoran Baru. Sedangkan ayahnya adalah Bandi Sumaatmadja, mantan pejuang yang menjadi pengusaha. Keinginan Addie untuk terjun ke dunia musik sempat ditentang ayahnya. Namun penolakan dari ayahnya menjadi pemacu bagi Addie untuk menjadikan musik sebagai hidupnya.


Setelah belajar piano klasik dengan Mrs. Rotti, proses belajar musiknya lebih banyak dilaluinya secara otodidak, termasuk bidang orkestrasi, conducting, dan recording engineering. Sebagai upaya untuk terus memperdalam bidang-bidang tersebut, Addie mengikuti beberapa pendidikan singkat. Antara lain, Recording Engineering Workshop di Ohio pada tahun 1984 dan Conducting Workshop yang diselenggarakan oleh American Symphony Orchestra League di Los Angeles pada tahun 1995. Dalam conducting workshop tersebut ia mendapat bimbingan dari Jorge Mester, konduktor Pasadena Symphony Orchestra saat itu, dan Raymond Harvey, konduktor Fresno Philharmonic Orchestra.


Karier Addie di industri musik tanah air dimulai pada tahun 1979 sebagai arranger maupun produser untuk album-album rekaman penyanyi-penyanyi pop. Penyanyi yang mendapat besutan tangan dinginnya, antara lain Vina Panduwinata, Harvey Malaiholo, Utha Likumahuwa, Chrisye, Krisdayanti dan Anang Hermansyah, hingga musisi mancanegara seperti Suzanne Ciani dari Amerika Serikat.

Addie telah meraih 3 Golden Trophy BASF Awards sebagai penata musik terbaik, 2 Golden Records untuk album Vina Panduwinata, dan 2 Silver Records untuk album Chrisye. Addie pernah membuat 3 orkestrasi dalam album Dream Suite karya Suzanne Ciani, yang dinominasikan dalam Grammy Awards ke-38 sebagai The Best New Age Album.


Pengalamannya dalam dunia musik antara lain sebagai penata musik dan konduktor pada Festival Internacional de la Cancion, Chili, pada tahun 1983 serta music director untuk BASF Awards selama 7 tahun berturut-turut. Pada tahun 2005 Addie dipercaya memimpin Manila Philharmonic dalam acara Miss ASEAN. Setelah 15 tahun meninggalkan jalur musik industri dan berkonsentrasi di jalur simfoni, Addie kembali lagi sebagai konduktor musik pengiring konser tunggal Vina Panduwinata, Viva Vina pada tahun 2006.[1]
Pada tahun 1991, Addie bersama Oddie Agam dan pengusaha Indra Usmansjah Bakrie, mendirikan Twilite Orchestra, sebuah pops orchestra, yakni orkestra simfoni yang tidak hanya memainkan musik klasik saja, namun juga musik film, drama musikal, musik pop, dan tradisional yang diaransemen secara simfonik. Dalam lingkup internasional, Twilite Orchestra terdaftar sebagai anggota American Symphony Orchestra League sejak tahun 1995. Tahun 1992, tepatnya bulan Februari, Twilite Orchestra sukses menggelar konser dengan David Foster di televisi swasta RCTI.

Pada tahun 1998, Addie bersama Youk Tanzil dan Victorian Philharmonic Orchestra membuat album rekaman Simfoni Negeriku di Australia, di mana untuk pertama kalinya lagu-lagu nasional Indonesia diaransemen secara simfonik dan direkam dalam format CD dan kaset. Bersama Twilite Orchestra, tahun 2004, Addie merilis album La Forza Del Destino, sebuah album rekaman simfonik yang menampilkan karya-karya musik klasik Barat pertama di Indonesia.



Addie juga menjadi penata musik sejumlah film dan pertunjukan, antara lain Biola Tak Berdawai, Dealova, Cinta Pertama, In the Name of Love, Summer Breeze, Sepuluh dan musik untuk drama Opera Anoman. Pada tahun 2003, Addie juga diberi kepercayaan oleh Panglima TNI untuk menciptakan lagu mars dan hymne TNI. Banyak juga perusahaan dan organisasi yang mempercayakannya untuk menciptakan lagu tema mereka, seperti Garuda Indonesia, Summarecon, Sharp, Kadin dan lainnya.


Sejak tahun 1998, Addie bersama Twilite Orchestra melaksanakan misi edukasi melalui konser di berbagai sekolah maupun universitas. Bersama ‘Sampoerna untuk Indonesia’, Twilite Orchestra mengadakan konser tahunan untuk mahasiswa di Istora Senayan dengan nama Musicademia yang telah dimulai sejak tahun 2000. Masih dengan misi yang sama, Addie mendirikan Twilite Youth Orchestra pada tahun 2004, yakni sebuah orkes remaja yang tampil di sekolah-sekolah maupun di konser umum. Sebelumnya, Addie MS juga membentuk Twilite Chorus pada tahun 1995. Pada tahun 2009, Addie bersama Twilite Orchestra, Twilite Chorus, CIC Choir, dan beberapa solis mempagelarkan konsernya di Sydney Opera House, yang merupakan konser orkestra Indonesia pertama yang tampil di concert hall bergengsi tersebut

Tidak ada komentar: