Addie Muljadi Sumaatmadja, atau lebih dikenal dengan Addie MS, adalah
seorang konduktor orkestra di Indonesia. Addie adalah salah satu pendiri Twilite Orchestra.
Pria yang menjadi suami dari penyanyi “Memes” ini lahir di Jakarta, 7 Oktober
1959. Selain seorang konduktor, Addie juga dikenal sebagai pianis, pencipta
lagu, komposer, arranger, dan sekaligus produser musik. Bagi Addie Muljadi
Sumaatmadja piano bukan sekadar penghasil bunyi, yang bisa diatur keindahannya
dengan emosi. Lebih dari itu. Alat musik itu adalah wadah luapan pemberontakan
batin yang mampat tak tersalurkan.
Biografi Addie M.S.
Masa Kecil
Semasa remaja,
bila lagi marah, ia melampiaskannya pada tuts-tuts piano. “Terkadang sampai
senarnya putus,” ungkap alumnus Recording Engineering, Chilicothe, Ohio, Amerika
Serikat (AS) ini. Masa kecilnya memang agak terkungkung dalam disiplin. Maklum,
ayahnya, Bandi Sumaatmadja, yang mantan tentara, mendidiknya dalam disiplin
keras.
Ia sadar.
Orang tuanya itu tipikal orang yang harus mengikuti kemauannya dan tak menyisakan
ruang dialog bagi anak-anaknya. Rupanya ia tak tahan menghadapinya. “Di situlah
jiwa saya berontak dan penyalurannya ke narkoba,” kenang anak ketiga dari
delapan bersaudara itu tentang masa lalunya.
Addie M.S.
|
Sejatinya Adi
kecil terbilang anak yang pemalu, minder, dan malas bergaul. Hanya saja, itu
berubah saat ia duduk di bangku SMP. Ia mulai bergaul akrab dengan narkoba.
Malah ia sempat lekat dengan kumpulan anak-anak yang suka berkelahi. “Sejak SMP
saya berubah menjadi anak yang agak eksplosif dan emosional,” akunya.
Penampilan lusuh dan jarang pulang menjadi kebiasaannya.
Sekitar 1,5
tahun ia terlibat narkoba, sebagai pengguna maupun penyalur. Hanya perempuan
yang tak pernah ia sentuh. Ia minder. “Bagi saya menghadapi siapa saja berani,
tapi jangan wanita. Itu kelemahan saya,” ujarnya tergelak. Perkenalannya dengan
musik memang tak disengaja. Ketika lulus SD ibunya membelikan dia piano. “Orang
tua saya mampunya beli yang bekas. Selain itu, setiap ke rumah om saya selalu
diperdengarkan musik klasik dan jazz,” tuturnya mengenai ketertarikannya pada
dunia musik. Keluarganya ramai-ramai memakai piano itu bergantian. Ternyata
hanya dia yang paling berbakat.
Energinya tak
berlama-lama ia gunakan untuk hal-hal yang negatif. Sejak masuk SMA ia mulai bergaul
dengan kegiatan positif. Sempat ikut grup vokal bersama Ikang Fauzi, Fariz RM,
dan Adji Sutama. Pernah pula mengikuti lomba cipta lagu remaja dan lomba band.
“Sampai di pengujung SMA, saya diperkenalkan dengan dunia musik pop profesional
oleh Keenan Nasution dan Jockie Suryoprayogo, dua musisi senior,” tuturnya.
Tak
tanggung-tanggung, Adi diajak membantu rekaman mereka. Musisi sekaliber Idris
Sardi pun meminta bantuannya membuat musik-musik soundtrack film. Nah,
gara-gara itu penyakit bolosnya kambuh lagi. Tapi kali ini bukan untuk beradu
jotos di lapangan, tapi mengolah nada dan irama di studio musik. “Bagi saya itu
semua suatu kebanggaan,” komentarnya mengenai perkenalan dengan dunia musik
profesional.
Setamat SMA,
terlintas di benaknya ingin kuliah di fakultas psikologi atau ekonomi. Nyatanya
tak satu pun ia tekuni. Ia mulai yakin musik adalah jalan hidupnya. Toh mencari
sekolah musik di Indonesia bukan pekerjaan gampang. Ia pun belajar secara
otodidak. Cara lain, ia menabung dan hasilnya ia gunakan bepergian ke New York.
Di sana ia melihat opera, konser musik klasik dan jazz, mencari referensi buku
musik, dan video musik. Langkah berat agar berhasil.
Meski sudah
menemukan jalan hidupnya, sifat pemberontak itu masih kerap muncul. Misalnya
saat teman-temannya di Conducting Workshop di Ohio, AS, bergembira dalam acara
penyerahan sertifikat. Ia malah asyik tidur. “Saya tak suka yang namanya gelar
dan sertifikat, yang penting ilmunya,” ujar pengagum Leonard Birdstain,
konduktor sekaligus komposer kenamaan dari AS.
Semasa kecil,
ia pernah pula bercita-cita menjadi arsitek, lantaran senang menggambar
interior rumah. Hal yang tak lazim dilakukan anak usia sekolah dasar. Sempat
pula ingin menjadi psikolog, sebab membaca tulisan seorang psikolog Tengku Syah
Abidin. Tulisan itu mendorongnya menjadi detektif-detektifan.
Darah seninya
ternyata mengalir dari H. Muhamad Susilo, kakeknya, seorang violis dan planolog
yang merancang kota satelit Kebayoran Baru. Adi pertama kali memimpin orkestra
pada 1982 di Filipina, mengiringi penyanyi Redi Nur dan Vina Panduwinata. Ia
memenangi juara kedua festival lagu pop di Chile dengan membawakan lagu Titik
Hamzah pada 1984. “Disitu saya merasakan adanya daya tarik. Akhirnya sepulang
dari Chile, saya memutuskan berhenti kuliah dari jurusan ekonomi Universitas
Krisnadwipayana di Jakarta,” bebernya. Sejak itu, ia tambah yakin hidupnya
adalah untuk musik.
Keputusannya
itu mengecewakan ayahnya. Orangtuanya berharap ia menjadi pewaris perusahaan.
Apa boleh buat, ia memang merasa tak memiliki bakat sebagai pemimpin
perusahaan. Ia pun mendebat argumen orangtuanya, yang menganggap masa depan
musisi tidak jelas. Tantangan itu ia jawab dengan tidak meminta uang pada orang
tua. “Sejak SMA, saya sudah memutuskan untuk membuktikan bahwa musik dapat
menghidupi saya dan saya tak mau tergantung pada orang tua secara finansial,”
katanya tentang tekadnya.
Karier
Bakat musik Addie turun dari sang kakek, Muhammad
Susilo, yang dikenal sebagai planalog yang merancang kota satelit Kebayoran
Baru. Sedangkan ayahnya adalah Bandi Sumaatmadja, mantan pejuang yang menjadi
pengusaha. Keinginan Addie untuk terjun ke dunia musik sempat ditentang
ayahnya. Namun penolakan dari ayahnya menjadi pemacu bagi Addie untuk
menjadikan musik sebagai hidupnya.
Setelah belajar piano klasik dengan Mrs. Rotti, proses
belajar musiknya lebih banyak dilaluinya secara otodidak, termasuk bidang
orkestrasi, conducting, dan recording engineering. Sebagai upaya untuk terus
memperdalam bidang-bidang tersebut, Addie mengikuti beberapa pendidikan
singkat. Antara lain, Recording Engineering Workshop di Ohio pada tahun 1984
dan Conducting Workshop yang diselenggarakan oleh American Symphony Orchestra
League di Los Angeles pada tahun 1995. Dalam conducting workshop tersebut ia
mendapat bimbingan dari Jorge Mester, konduktor Pasadena Symphony Orchestra
saat itu, dan Raymond Harvey, konduktor Fresno Philharmonic Orchestra.
Karier Addie di industri musik tanah air dimulai pada
tahun 1979 sebagai arranger maupun produser untuk album-album rekaman penyanyi-penyanyi
pop. Penyanyi yang mendapat besutan tangan dinginnya, antara lain Vina
Panduwinata, Harvey Malaiholo, Utha Likumahuwa, Chrisye, Krisdayanti dan Anang
Hermansyah, hingga musisi mancanegara seperti Suzanne Ciani dari Amerika
Serikat.
Addie telah meraih 3 Golden Trophy BASF Awards sebagai
penata musik terbaik, 2 Golden Records untuk album Vina Panduwinata, dan 2
Silver Records untuk album Chrisye. Addie pernah membuat 3 orkestrasi dalam
album Dream Suite karya Suzanne Ciani, yang dinominasikan dalam Grammy Awards
ke-38 sebagai The Best New Age Album.
Pengalamannya dalam dunia musik antara lain sebagai
penata musik dan konduktor pada Festival Internacional de la Cancion, Chili,
pada tahun 1983 serta music director untuk BASF Awards selama 7 tahun
berturut-turut. Pada tahun 2005 Addie dipercaya memimpin Manila Philharmonic
dalam acara Miss ASEAN. Setelah 15 tahun meninggalkan jalur musik industri dan
berkonsentrasi di jalur simfoni, Addie kembali lagi sebagai konduktor musik
pengiring konser tunggal Vina Panduwinata, Viva Vina pada tahun 2006.[1]
Pada tahun 1991, Addie bersama Oddie Agam dan
pengusaha Indra Usmansjah Bakrie, mendirikan Twilite Orchestra, sebuah pops
orchestra, yakni orkestra simfoni yang tidak hanya memainkan musik klasik saja,
namun juga musik film, drama musikal, musik pop, dan tradisional yang
diaransemen secara simfonik. Dalam lingkup internasional, Twilite Orchestra
terdaftar sebagai anggota American Symphony Orchestra League sejak tahun 1995.
Tahun 1992, tepatnya bulan Februari, Twilite Orchestra sukses menggelar konser
dengan David Foster di televisi swasta RCTI.
Pada tahun 1998, Addie bersama Youk Tanzil dan
Victorian Philharmonic Orchestra membuat album rekaman Simfoni Negeriku di
Australia, di mana untuk pertama kalinya lagu-lagu nasional Indonesia
diaransemen secara simfonik dan direkam dalam format CD dan kaset. Bersama
Twilite Orchestra, tahun 2004, Addie merilis album La Forza Del Destino, sebuah
album rekaman simfonik yang menampilkan karya-karya musik klasik Barat pertama
di Indonesia.
Addie juga menjadi penata musik sejumlah film dan
pertunjukan, antara lain Biola Tak Berdawai, Dealova, Cinta Pertama, In the
Name of Love, Summer Breeze, Sepuluh dan musik untuk drama Opera Anoman. Pada
tahun 2003, Addie juga diberi kepercayaan oleh Panglima TNI untuk menciptakan
lagu mars dan hymne TNI. Banyak juga perusahaan dan organisasi yang
mempercayakannya untuk menciptakan lagu tema mereka, seperti Garuda Indonesia,
Summarecon, Sharp, Kadin dan lainnya.
Sejak
tahun 1998, Addie bersama Twilite Orchestra melaksanakan misi edukasi melalui
konser di berbagai sekolah maupun universitas. Bersama ‘Sampoerna untuk
Indonesia’, Twilite Orchestra mengadakan konser tahunan untuk mahasiswa di
Istora Senayan dengan nama Musicademia yang telah dimulai sejak tahun 2000.
Masih dengan misi yang sama, Addie mendirikan Twilite Youth Orchestra pada
tahun 2004, yakni sebuah orkes remaja yang tampil di sekolah-sekolah maupun di
konser umum. Sebelumnya, Addie MS juga membentuk Twilite Chorus pada tahun 1995.
Pada tahun 2009, Addie bersama Twilite Orchestra, Twilite Chorus, CIC Choir,
dan beberapa solis mempagelarkan konsernya di Sydney Opera House, yang
merupakan konser orkestra Indonesia pertama yang tampil di concert hall
bergengsi tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar